Hubungan BBLR dan Status Pemberian ASI Dengan Kejadian Stunting pada Baduta

Vol. 2 No. 1: 2022 | Pages : 13-18

DOI: 10.47679/jchs.202231   Reader : 632 times PDF Download : 35 times

Abstract

PENDAHULUAN

Status gizi di Indonesia terutama pada balita yang sekarang masih menjadi permasalahan di antaranya masalah gizi kurang, gizi buruk serta Stunting. Stunting atau biasa disebut dengan balita pendek merupakan indikasi buruknya status gizi dan digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk gizi kurang pada anak. Stunting adalah kekurangan gizi pada balita yang berlangsung lama dan menyebabkan terhambatnya perkembangan otak dan tumbuh kembang anak. Kondisi ini menyebabkan perkembangan otak dan fisik terhambat, rentan terhadap penyakit, sulit berprestasi, dan saat dewasa mudah menderita obesitas sehingga berisiko terkena penyakit jantung, diabetes, dan penyakit tidak menular lainnya (Kemenkes, 2016).

Menurut World Health Organization (WHO) sekitar 162 juta anak umur dibawah 5 tahun mengalami stunting dan Indonesia masuk menjadi negara urutan kelima dari negara dengan masalah stunting (gizi buruk kronis) karena berada di atas batasan yang ditetapkan WHO sebesar 20%. Penelitian Ricardo dalam Bhutta tahun 2013 menyebutkan balita stunting berkontribusi terhadap 1,5 juta (15%) kematian anak balita di dunia dan menyebabkan 55 juta anak kehilangan masa hidup sehat setiap tahun. Saat ini, 9 juta atau lebih dari sepertiga jumlah balita (37,2%) di Indonesia menderita stunting. Pemantauan Status Gizi (PSG) 2017 menunjukkan prevalensi Balita stunting di Indonesia masih tinggi, yakni 29,6% (Kemenkes, 2018).

Kondisi stunting di Indonesia tersebut sudah masuk dalam kategori gawat darurat. Dengan jumlah penderita sebesar itu, Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Kamboja (41%), Laos (44%) dan Timor Leste (5%) yang mengalami masalah stunting di kawasan Asia Tenggara. Dari laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan pada 2013, penderita stunting tertinggi terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebanyak 51,73%. Jumlah ini diikuti oleh Sulawesi Barat (48,02%), Nusa Tenggara Barat (45,26%), Kalimantan Selatan (44,24%), dan Lampung (42,63%) (Kemenkes, 2018).

Menurut Riskesdas tahun 2013 prevalensi Balita Sangat Pendek dan Pendek berdasarkan data Provinsi Lampung menunjukkan bahwa Kabupaten Lampung Tengah dengan jumlah yang terbesar yaitu sebanyak 52,68% lebih tinggi dibandingkan Lampung Timur 43,17%., Bandar Lampung, 44,59%, dan Kota Metro 47,34%. Data tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Lampung Tengah merupakan kabupaten dengan jumlah tertinggi kasus stunting yang berarti hampir separuh pendudukan Lampung Tengah, namun sejak tahun 2016 sudah menurun menjadi 20,26%. Sementara itu menurut Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat (Kabid Kesmes) Dinas Kesehatan Lampung Tengah bahwa di Lampung Tengah ini ada 10 kampung yang mendapatkan perhatian karena menurut data pusat kasus stunting masih tinggi dimana Kecamatan Pubian termasuk di dalamnya (Balitbang Lamteng, 2018).

Faktor ibu dan pola asuh (Wati, 2021) yang kurang baik terutama pada perilaku dan praktik pemberian makan kepada anak juga menjadi penyebab anak stunting apabila ibu tidak memberikan asupan gizi yang cukup dan baik. Ibu yang masa remajanya kurang nutrisi, bahkan di masa kehamilan yang menyebabkan balita yang dilahirkan dengan BBLR, dan laktasi dengan pemberian ASI Eksklusif akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan tubuh dan otak anak. Faktor lainnya yang menyebabkan stunting adalah terjadi infeksi pada ibu, kehamilan remaja, gangguan mental pada ibu, jarak kelahiran anak yang pendek, dan hipertensi. Selain itu, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan termasuk akses sanitasi dan air bersih menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan anak (Kemenkes, 2018).

Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab tidak langsung yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin. Ibu hamil dengan gizi kurang akan menyebabkan janin mengalami kurang gizi dan BBLR dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan disebabkan kurangnya asupan makanan yang memadai dan penyakit infeksi yang berulang dan pemberian ASI secara Eksklusif. Keadaan ini semakin mempersulit untuk mengatasi gangguan pertumbuhan yang akhirnya berpeluang terjadinya stunted (Germas, 2018). Berdasarkan hal tersebut maka beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada balita diantaranya adalah kondisi bayi yang lahir dengan BBLR serta perilaku ibu dalam memberikan ASI secara Eksklusif kepada bayinya.

Kampung Tanjung Rejo pada bulan Desember 2018 tercatat terdapat 39 balita dari 1.309 balita (2,98%) yang mengalami kondisi stunting. Angka tersebut merupakan angka kejadian tertinggi di wilayah Puskesmas Payung Rejo jika dibandingkan kampung Payung Rejo dengan angka kejadian 12 balita (0,92%) yang berada pada posisi kedua. Pada pelaksanaan survey pendahuluan terhadap ibu dengan balita dengan kondisi stunting tersebut pula diperoleh gambaran bahwa 18 (46,15%) diantaranya memang pada saat lahir mengalami kondisi BBRL dan 24 (61,53%) diantaranya tidak mendapatkan ASI Eksklusif.

METODE

Metode penelitian yang digunakan adalah analitik. Jenis penelitian yang akan digunakan yaitu kuantitatif dengan rancangan cross sectional. Pengumpulan data pengambilan data primer melalui penyebaran kuisioner, populasi penelitiannya adalah seluruh ibu yang memiliki badutadan variabel penelitian adalah kejadian BBLR, status pemberian ASI dan kejadian Stunting. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki anak bawah dua tahun (baduta) dengan usia 6-24 bulanyang berjumlah 91responden. Sampel berjumlah 74 responden yang diambil dengan teknik quota sampling. Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan microtoise dan kuisioner. Analisis univariat menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel.

HASIL DAN DISKUSI

Distribusi Frekuensi BBLR

Diketahui bahwa kejadian BBLR sebanyak 9 baduta (12,16%), sedangkan yang tidak mengalami BBLR sebanyak 65 baduta (87,84%).

BBLR Jumlah Persentase
BBLR 9 12,16%
Tidak BBLR 65 87,84%
Jumlah 74 100%
Table 1.
Status ASI Eksklusif Jumlah Persentase
Tidak ASI Eksklusif 33 44,59%
ASI Eksklusif 41 55,41%
Jumlah 74 100%
Table 2. Distribusi Frekuensi Status ASI Eksklusif

Diketahui bahwa status pemberian ASI Eksklusif sebanyak 41 baduta (55,41%) dan yang tidak ASI Eksklusif sebanyak 33 baduta (44,59%).

Kejadian Stunting Jumlah Persentase
Stunting 15 20,27%
Tidak Stunting 59 79,73%
Jumlah 74 100%
Table 3. Distribusi Frekuensi Stunting

Diketahui stunting sebanyak 15 baduta (20,27%), sedangkan yang tidak mengalami stunting sebanyak 59 baduta (79,73%).

Kejadian BBLR Kejadian Stunting Jumlah p-value OR
Stunting Tidak
N % N % n %
BBLR 5 55,6 4 44,4 9 100 0,014 6,875 (1,569-30,122)
Tidak BBLR 10 55,615,4 55 84,6 65 100
Jumlah 15 20,3 59 79,7 74 100
Table 4. Hubungan BBLR dengan Stunting

Kejadian BBLR Kejadian Stunting Jumlah P value OR
Stunting Tidak
n % n % n %
BBLR 5 55,6 4 44,4 9 100 0,014 6,875 (1,569-30,122)
Tidak BBLR 10 15,4 55 84,6 65 100
Jumlah 15 20,3 59 79,7 74 100
Table 5. Hubungan BBLR dengan Stunting

Diperoleh hasil bahwa dari 9 baduta yang mengalami BBLR terdapat 5 baduta (55,6%) yang mengalami stunting sedangkan pada baduta yang tidak mengalami BBLR terdapat 10 baduta (15,4%) yang mengalami stunting. Hasil uji statistik fisher Exact Test diperoleh nilai p value: 0,014 < 0,05 artinya ada hubungan antara kejadian BBLR dengan kejadian Stunting. Nilai OR diperoleh sebesar: 6,875 yang berarti bahwa baduta yang mengalami BBLR memiliki risiko 6,875 kali lebih tinggi untuk mengalami kejadian stunting dibandingkan dengan baduta yang tidak mengalami BBLR.

Status Pemberian ASI Eksklusif Kejadian Stunting Jumlah P value OR
Stunting Tidak Stunting
n % n % n %
Tidak Eksklusif 11 33,3 22 66,7 33 100 0,027 4,625 (1,312-16,308)
ASI Eksklusif 4 9,8 37 90,2 41 100
Jumlah 15 20,3 59 79,7 74 100
Table 6. Hubungan Status ASI Ekslusif dengan Stunting

Diperoleh hasil bahwa dari 9 baduta yang mengalami BBLR terdapat 5 baduta (55,6%) yang mengalami stunting sedangkan pada baduta yang tidak mengalami BBLR terdapat 10 baduta (15,4%) yang mengalami stunting. Hasil uji statistik fisher Exact Test diperoleh nilai p value: 0,014 < 0,05 artinya ada hubungan antara kejadian BBLR dengan kejadian Stunting. Nilai OR diperoleh sebesar: 6,875 yang berarti bahwa baduta yang mengalami BBLR memiliki risiko 6,875 kali lebih tinggi untuk mengalami kejadian stunting dibandingkan dengan baduta yang tidak mengalami BBLR.

Diperoleh dari 33 baduta dengan status pemberian ASI tidak Eksklusif terdapat 11 baduta (33,3%) yang mengalami stunting, sedangkan pada baduta dengan status pemberian ASI Eksklusif hanya terdapat 4 baduta (9,8%) yang mengalami stunting. Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p value: 0,027 < 0,05 artinya ada hubungan antara status pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian Stunting. Nilai OR 4,625 yang berarti bahwa baduta dengan status pemberian ASI tidak eksklusif memiliki risiko 4,625 lebih tinggi untuk mengalami kejadian stunting dibandingkan dengan baduta dengan status pemberian ASI Eksklusif.

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

BBLR

Berdasarkan hasil analisa data dapat diketahui bahwa distribusi frekuensi kejadian BBLR pada baduta di Kampung Tanjung Rejo Kecamatan Pubian Kabupaten Lampung Tengah tahun 2019 dari 74 responden yang diteliti terdapat 9 baduta yang mengalami BBLR (12,19%), dan baduta yang tidak mengalami BBLR sebanyak 65 ibu (87,84%). Kejadian BBLR tersebut menggambarkan bahwa angka kejadian BBLR di Kampung Tanjung Rejo Kecamatan Pubian Kabupaten Lampung Tengah masih cukup tinggi, dimana hal ini sesuai dengan hasil pra survey awal dimana terdapat 46,15% bayi yang mengalami stunting diantaranya memang pada saat lahir mengalami kondisi BBRL Berdasarkan hasil tersebut maka adanya kejadian BBLR yang cukup tinggi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor risiko diantaranya yaitu kurangnya ibu memeriksakan kesehatannya bayinya sejak di kandungan sehingga kejadian tersebut tidak dapat dicegah sehingga diperlukan upaya pengurangan kejadian BBLR dikemudian hari dengan memberikan konseling kepada ibu hamil untuk rutin memeriksakan kehamilannya melalui kunjungan antenatal dan bagi pihak puskesmas untuk meningkatkan cakupan kunjungan KI dan KIV di wilayah kerjanya.

Status ASI Eksklusif

Berdasarkan hasil analisa data dapat diketahui status pemberian ASI Eksklusif pada baduta di Kampung Tanjung Rejo Kecamatan Pubian Kabupaten Lampung Tengah tahun 2019 dari 74 responden yang diteliti terdapat 33 baduta yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif (44,59%) dan 41 baduta yang mendapatkan ASI Eksklusif (55,41%). Angka mengenai status pemberian ASI yang tidak eksklusif tersebut menunjukkan bahwa masih banyak bayi yang tidak diberikan ASI sampai dengan umur enam bulan. Angka tersebut juga sejalan dengan hasil pra survey dimana angka bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif sebanyak 61,53% bayi yang stunting dengan status tidak eksklusif. Masih adanya ibu yang tidak memberikan ASI Eksklusif terhadap bayinya tersebut dapat disebabkan oleh kesadaran ibu untuk memberikan ASI kepada bayinya atau adanya penyebab lain yang menyebabkan ibu tidak dapat memberikan ASI secara ekslusif seperti pengetahuan ibu yang kurang baik tentang manfaat dan cara pemberian ASI Eksklusif. Berdasarkan masih tingginya status bayi yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif tersebut maka perlu mendapatkan perhatian dari pihak terkait khususnya tenaga kesehatan yang ada di Kampung Tanjung Rejo Kecamatan Pubian Kabupaten Lampung Tengah dengan aktif memberikan konseling tentang manfaat dari pemberian ASI eksklusif melalui berbagai kegiatan seperti kegiatan posyandu yang ada di Kampung Tanjungrejo. Stunting Berdasarkan hasil analisa data dapat diketahui angka kejadian stunting pada baduta di Kampung Tanjung Rejo Kecamatan Pubian Kabupaten Lampung Tengah tahun 2019 dari 74 responden yang diteliti terdapat 15 baduta yang mengalami stunting (20,27%) dan 59 baduta yang tidak mengalami stunting (79,73%). Angka mengenai kejadian stunting tersebut menunjukkan bahwa masih banyak baduta dengan status gizi yang kurang baik. Angka tersebut juga sejalan dengan hasil pra survey dimana angka kejadian stunting secara keseluruhan di Kampung Tanjung Rejo sebanyak 39 balita. Berdasarkan masih tingginya status gizi bayi yang tergolong dalam kategori stunting tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti kejadian BBLR dan pemberian ASI Eksklusif yang tergambar dari hasil adanya angka kejadian BBLR pada responden dan angka pemberian ASI yang tidak eksklusif pada ibu. Dari hasil tersebut maka perlu mendapatkan perhatian dari pihak terkait khususnya tenaga kesehatan yang ada di Kampung Tanjung Rejo Kecamatan Pubian Kabupaten Lampung Tengah mengingat kejadian stunting termasuk masalah yang menjadi fokus pemerintah untuk menanggulanginya dengan aktif memberikan konseling tentang upaya pemenuhan gizi bagi balita dalam upaya pencegahan kejadian stunting di Kampung Tanjungrejo

Hubungan BBLR dengan Stunting

Hasil uji statistik fisher exact test diperoleh nilai p value: 0,014 < 0,05 yang berarti ada hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting pada baduta. Nilai OR diperoleh sebesar: 6,875 yang berarti bahwa baduta dengan riwayat BBLR memiliki risiko 6,875 kali lebih tinggi untuk mengalami kejadian stunting dibandingkan dengan baduta yang tidak mengalami BBLR. Adanya hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting tersebut juga ditunjukkan dari hasil analisa tabel kontingensi dimana dari 9 baduta yang mengalami BBLR terdapat 55,6% (5 baduta) yang mengalami stunting, sedangkan pada baduta yang tidak mengalami BBLR terdapat 15,4% (10 baduta) yang mengalami stunting. Jika dilihat dari persentasenya maka pada baduta yang mengalami BBLR memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan yang tidak BBLR (55,6% berbanding 15,4%). Adanya hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting tersebut memiliki kesesuaian dengan teori yang menyatakan bahwa riwayat BBLR akan meningkatkan risiko kejadian gizi kurang dibandingkan anak yang tidak memiliki riwayat BBLR. Hal tersebut mungkin terjadi karena anak yang lahir dengan BBLR, berpeluang mengalami gangguan pada sistem syaraf sehingga pertumbuhan dan perkembangannya akan lebih lambat dibandingkan anak yang lahir dengan berat badan normal. Bayi dengan berat lahir rendah memiliki daya tahan tubuh yang lebih rendah dibandingkan bayi yang lahir normal dengan demikian maka bayi dengan berat badan rendah akan mudah terserang penyakit terutama penyakit infeksius. Penyakit infeksius sendiri merupakan salah satu penyebab langsung kejadian gizi kurang pada anak, dimana bayi dengan BBLR lebih rentan terhadap penyakit infeksi apabila tidak didukung dengan pemberian nutrisi yang adekuat maka risiko mengalami gizi kurang atau gizi buruk di kemudian hail akan lebih besar. Permasalahan medis bayi dengan BBLR yang mungkin ditemukan diantaranya ketidakstabilan keadaan umum bayi, bayi sulit menjalani masa transisi pada saat tidur ke keadaan bangun maupun sebaliknya, henti napas, daya tahan yang terbatas, inkoordinasi refleks mengisap, menelan, dan bernafas, serta kurang baiknya kontrol fungsi oral motor. Akibat permasalahan tersebut, maka bayi dengan BBLR berisiko mengalami kekurangan gizi. Kekurangan gizi ini diantaranya disebabkan oleh meningkatnya kecepatan pertumbuhan dan kebutuhan metabolisme yang tinggi, cadangan yang tidak cukup, sistem fisiologi tubuh yang belum sempurna. Penelitian yang dilakukan di Brazil menyimpulkan riwayat BBLR secara signifikan berhubungan dengan gizi kurang, stunting dan wasting pada balita (Correia ei al, 2014 dalam Septikasari, 2018). Analisis lebih lanjut terhadap gangguan perkembangan dikaitkan dengan berat lahir, dibuktikan bahwa bayi dengan berat lahir rendah kemungkinan akan terjadi gangguan perkembangan lebih banyak dibanding bayi lahir normal. Suspek gangguan perkembangan ini 10 persen lebih tinggi pada bayi lahir dengan BB<3000 gram (Atmarita, dkk, 2015). Adanya hubungan antara kejadian BBLR dengan kejadian stunting tersebut dapat diasumsikan bahwa kejadian BBLR yang menjadi faktor risiko kejadian stunting dikarenakan memang kondisi awal bayi yang BBLR tersebut mengindikasikan kondisi dengan gizi yang kurang dan berlanjut dengan kejadian stunting. Berdasarkan hal tersebut maka diharapkan tenaga kesehatan khususnya bidan berperan aktif dalam mengkampanyekan risiko dari bayi BBLR untuk mengalami kejadian stunting dengan upaya penyuluhan pada ibu sejak pada masa antenatal agar kejadian BBLR dapat dicegah yang sekaligus mencegah kejadian stunting, yang dapat dilakukan pada saat kegiatan di Posyandu dengan penyuluhan dan pemberian makanan tambahan pada balita khususnya yang memiliki riwayat BBLR

Hubungan Status ASI Eksklusif dengan Stunting

Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p value: 0,027 < 0,05 yang berarti ada hubungan antara status pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian Stunting pada Baduta. Nilai OR diperoleh sebesar: 4,625 yang berarti bahwa baduta dengan status pemberian ASI tidak eksklusif memiliki risiko 4,625 lebih tinggi untuk mengalami kejadian stunting dibandingkan dengan baduta dengan status pemberian ASI Eksklusif. Adanya hubungan antara status pemberian ASI dengan kejadian stunting tersebut juga ditunjukkan dari hasil analisa tabel kontingensi dimana dari 33 baduta dengan status pemberian ASI tidak Eksklusif terdapat 11 baduta (33,3%) yang mengalami stunting, sedangkan pada baduta dengan status pemberian ASI Eksklusif hanya terdapat 4 baduta (9,8%) yang mengalami stunting. Jika dilihat dari persentasenya maka pada baduta dengan status tidak eksklusif memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan yang eksklusif (33,3% berbanding 9,8%). Adanya hubungan antara status pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian stunting tersebut memiliki kesesuaian dengan teori yang menyatakan bahwa status gizi balita juga dipengaruhi oleh AS1 eksklusif. ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi baru lahir sampai dengan usia 6 bulan. Berdasarkan penelitian didapatkan hasil bayi yang mendapat ASI eksklusif 80% berstatus gizi normal. AS1 merupakan makanan paling ideal untuk bayi baru lahir sampai dengan 6 bulan karena mengandung nutrisi esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. ASI eksklusif mampu memenuhi semua kebutuhan nutrisi bayi dari lahir sampai dengan usia 6 bulan. AS1 tidak hanya mengandung zat-zat bemilai gizi tinggi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dam perkembangan syaraf dan otak bayi tetapi ASI juga mengandung zat kekebalan yang akin melindungi bayi, sehingga bayi tidak mudah sakit. Colostrum dalam ASI merupakan antibodi terbaik yang dapat melindungi bayi dari infeksi dan penyakit (Roesli, 2012). Selain asupan nutrisi, status gizi anak juga secara langsung dipengaruhi oleh penyakit. terdapat banyak manfaat terkait ASI eksklusif yaitu menurunkan angka kesakitan dan kematian karena diare dan penyakit infeksi. Dengan memberikan ASI eksklusif anak menjadi tidak mudah sakit dengan demikian status gizi anak juga anak menjadi lebih baik (Septikasari, 2018) Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Komalasari, yang menyatakan bahwa terdapat hubungan Pemberian ASI eksklusif dengan stunting (p value= 0,000). (Komalasari, 2021) Adanya hubungan antara status pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian stunting tersebut dapat dimungkinkan berkaitan dengan kandungan zat gizi yang terkandung di dalam ASI yang tidak didapatkan oleh bayi secara eksklusif sehingga memicu terjadinya kejadian stunting. Berdasarkan hal tersebut maka diharapkan tenaga kesehatan khususnya bidan berperan aktif dalam kegiatan promosi kesehatan mengenai pemberian ASI Eksklusif sebagai upaya pencegahan kejadian stunting dengan upaya penyuluhan pada ibu sejak pada masa antenatal, dan pada saat masa pertumbuhan bayi melalui kegiatan di Posyandu dan kegiatan lainnya dengan penyuluhan tentang manfaat dan cara pemberian ASI Eksklusif dan pemberian makanan tambahan pada balita. Dukungan Suami juga diperlukan dalam keberhasilan proses menyusui, yang akan meningkatkan efikasi ibu menyusui. (Sanjaya, 2021).

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

  1. Ada hubungan kejadian BBLR dengan kejadian Stunting pada Baduta dengan nilai p value: 0,014, OR: 6,875.
  2. Ada hubungan status pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian Stunting pada Baduta dengan nilai p value: 0,027, OR: 4,625.

Saran

Diharapkan pihak puskesmas dapat lebih berperan aktif dalam mengkampanyekan dampak dari kejadian BBLR, pemberian ASI yang tidak eksklusif dan pencegahan kejadian stunting dengan tindakan konkrit seperti penyebaran selebaran poster dan leaflet tentang pentingnya pelaksanaan antenatal care dan pemberian ASI secara eksklusif serta meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya pada pelaksanaan posyandu melalui program pemberian makanan tambahan, sehingga dapat mengurangi angka kejadian stunting.

Funding Statement

The authors did not receive support from any organization for the submitted work and No funding was received to assist with the preparation of this manuscript

Conflict of Interest statement

Penulis yang namanya tercantum tepat di bawah ini menyatakan bahwa tidak memiliki afiliasi atau keterlibatan dengan pihak luar manapun dan tulisan ini murni dari sumber yang dicantumkan di daftar pustaka serta tidak mengandung plagarisme dari jurnal artikel manapun. Sumber tulisan telah dicantumkan seluruhnya didaftar pustaka.

Copyright and Licensing

Authors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed under an Attribution-ShareAlike 4.0 International (CC BY-SA 4.0) that allows others to share the work with an acknowledgement of the work's authorship and initial publication in this journal.

Data Availability

References

  • Almatsier. (2011). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia. Pustaka Utama.
  • Arikunto. Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Atmarita. dkk. (2015). Pendek (Sunting) di Indonesia; Masalah dan Solusionya. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
  • Balitbangkes. (2015). Pendek (Stunting) di Indonesia, Masalah dan Solusinya. Jakarta. Badan penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
  • Balitbang Lampung Tengah. (2018). Diskusi Menurunkan Angka Stunting di Lampung Tengah. Lampung Tengah: Dinkes Lampung Tengah.
  • Germas. (2018). Lampung: Ayo Cegah Stanting!. Gerakan Masyarakat Hidup Sehat. Bandar Lampung.
  • Hidayati. (2011). Karakteristik Ibu, Baduta danKeluarga yang berhubungan dengan Status Gizi Baduta (6-24 bulan) di Kecamatan Teluk Sampit Kalimantan Tangah. Skripsi, Jakarta: FKM UI.
  • Kemenkes. (2013). Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Kemenkes RI.
  • Kemenkes. (2016). Infodatin: Situasi Balita Pendek. Jakarta: Kemenkes RI.
  • Kemenkes. (2018). Ini Penyebab Stunting pada Anak. Jakarta: Kemenkes RI.
  • Komalasari, K., Supriati, E., Sanjaya, R., & Ifayanti, H. (2021). Faktor-Faktor Penyebab Kejadian Stunting Pada Balita. Majalah Kesehatan Indonesia, 2(1), 51-56.
  • Prawirohardjo. Sarwono. (2010). Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBP.
  • Proverawati. (2010). BBLR: Berat Badan Lahir Rendah. Yogyakarta: Nuha Medika.
  • Rahayu. (2015). Hubungan Riwayat Berat Badan Lahir dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia Bawah Dua Tahun. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 10 No. 2.
  • Sanjaya, R., Effendi, J. S., & Pribadi, A. (2021). HUBUNGAN KECEMASAN IBU DAN DUKUNGAN SUAMI DENGAN EFIKASI DIRI IBU UNTUK MENYUSUI. Midwifery Journal: Jurnal Kebidanan UM. Mataram, 6(1), 28-33.
  • Saifuddin. Abdul Bari. (2012). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: YBP.
  • Septikasari. (2018). Status Gizi Anak dan Faktor yang Mempengaruhi. Yogyakarta: UNY Press.
  • Setiawan. (2018). Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang Tahun 2018. Jurnal kesehatan Andalas No. 7 Tahun 2018.
  • Siahaan. (2014). Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Tiram Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara Tahun 2013. Jurnal Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU.
  • Supariasa. (2012). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
  • Wati, I. F., & Sanjaya, R. (2021). Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan. Wellness And Healthy Magazine, 3(1), 103-107.
  • Winkjosastro. Hanifa. (2009). Ilmu Kebidanan. edisi 2. Jakarta: YBPSP.

Editorial's Note

Journal of Current Health Sciences remains neutral with regard to jurisdictional claims in published maps and institutional affiliations.

Rights and permissions

Open Access This article is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License, which permits use, sharing, adaptation, distribution and reproduction in any medium or format, as long as you give appropriate credit to the original author(s) and the source, provide a link to the Creative Commons licence, and indicate if changes were made. The images or other third party material in this article are included in the article's Creative Commons licence, unless indicated otherwise in a credit line to the material. If material is not included in the article's Creative Commons licence and your intended use is not permitted by statutory regulation or exceeds the permitted use, you will need to obtain permission directly from the copyright holder. To view a copy of this licence, visit https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/.

PDF

Keywords

  • BBLR
  • Status ASI Eksklusif
  • Stunting
  • Identifikasi

Author Information

Temtrem Mariyami

Program Studi Kebidanan Program Sarjana Terapan Fakultas Kesehatan Universitas Aisyah Pringsewu Lampung, Indonesia.

Riona Sanjaya

Program Studi Kebidanan Program Sarjana Terapan Fakultas Kesehatan Universitas Aisyah Pringsewu Lampung, Indonesia.

Article History

Submitted : 1 February 2022
Revised : 15 May 2022
Published : 25 May 2022

How to Cite This

Mariyami, T., & Sanjaya, R. (2022). Hubungan BBLR dan Status Pemberian ASI Dengan Kejadian Stunting pada Baduta. Journal of Current Health Sciences, 2(1), 13–18. https://doi.org/10.47679/jchs.202231

Crossmark and Dimension

Verify authenticity via CrossMark

template

Before Submission

Keywords

visitors

Journal Visitors

Flag Counter

View MyStat

View MyStat

Ceritificate-Accreditation

Certificate Accreditation