Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Asfiksia Neonatorum pada Bayi Baru Lahir di RSUD Kabupaten Pringsewu

Vol. 2 No. 2: 2022 | Pages : 73-80

DOI: 10.47679/jchs.202239   Reader : 1313 times PDF Download : 67 times

Abstract

PENDAHULUAN

Deklarasi Millenium yang merupakan kesepakatan para kepala Negara dan perwakilan dari 189 Negara dalam sidang Persatuan Bangsa – Bangsa (PBB) di New York bulan September Tahun 2000 menegaskan kepedulian utama masyarakat dunia untuk bersinergi dalam mencapai target Millenium Development Goals (MDGs) pada Tahun 2015. Target Millenium Developmet Goals (MDG’s) pada Tahun 2015 menempatkan manusia sebagai fokus utama pembangunan yang mencakup semua komponen salah satunya adalah menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup. SDG merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dibangun pada MDGs (Millenium Development Goals) hingga tahun 2030, dengan target mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di bawah 5 tahun.

Menurut Central Intelligennce Agency dalam The World Factbook pada Tahun 2010 sebesar 27 per 1.000 kelahiran hidup, pada Tahun 2011 sebesar 26 per 1.000 kelahiran hidup dan Pada Tahun 2013 dan Tahun 2012 tetap sebesar 25 per 1.000 kelahiran hidup, Tahun 2014 di Indonesia diketahui bahwa Angka Kematian Bayi (AKB) mengalami penurunan yaitu 25 per 1.000 kelahiran hidup. Meskipun data tersebut menunjukan penurunan pada Angka Kematian Bayi (AKB) namun hal ini masih menjadi masalah kesehatan Indonesia (WHO, 2015).

Angka Kematian Bayi di Indonesia terus menurun tiap tahun, namun tingkat kematian bayi di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan Negara-negara anggota Association of Southeast Asia Nations (ASEAN), yaitu 4,2 kali lebih tinggi dari Malaysia, 1.2 kali lebih tinggi dari Filipina dan 2.2 kali lebih tinggi dari Thailand (Kemenkes RI, 2012). Dengan perkiraan penduduk 240.673.000 dengan Crude Birth Rate (CBR) 20,4 dengan angka Kematian Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 diperkirakan lebih 95 ribu bayi baru lahir meninggal sebelum berumur 1 bulan, lebih dari 160 ribu bayi meninggal sebelum umur tahun pertama, dan lebih dari 201 ribu balita meninggal sebelum ulang tahun yang kelima (Kemenkes RI, 2012).

Variasi kematian bayi antar provinsi masih cukup besar dengan kematian paling tinggi terjadi di Papua Barat yaitu 35/1.000 KH. Terdapat 27% provinsi (9 Provinsi) menunjukan peningkatan kematian bayi antara tahun 2007-2012 yaitu Aceh, Jateng, Yogjakarta, Kaltim, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua (Riskesdas, 2013).

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis (IDAI, 2009). Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan, dan melahirkan atau periode segera setelah lahir. Janin sangat bergantung pada pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan pembuangan produk sisa sehingga gangguan pada aliran darah umbilikal maupun plasental hampir selalu akan menyebabkan asfiksia (Parer, 2008)

Asfiksia bila tidak segera ditangani akan berdampak pada kematian, karena asfiksia merupakan penyebab utama lahir mati dan kematian neonatus. Penilaian statistic dan pengalaman klinis atau patologi anatomis menunjukan bahwa keadaan ini merupakan penyebab utama mortalitas dan morbilitas bayi baru lahir. Hal ini dibuktikan oleh Drage dan Berendes yang mendapatkan bahwa skor apgar yang rendah sebagai manifestasi hipoksia berat pada bayi saat dilahirkan memperlihatkan angka kematian yang tinggi (Hassan, dkk, 2005).

Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada neonatus, diantaranya adalah faktor ibu yang meliputi kejadian preeklamsia dan eklamsia, pendarahan abnormal (plasenta previa dan solusia plasenta), partus lama, kehamilan lewat waktu (sesudah 42 minggu kehamilan), riwayat penyakit ibu, dan lilitan tali pusat (tali pusat pendek). Sedangkan dari faktor janin meliputi lahir prematur (sebelum 37 minggu kehamilan), persalinan dengan penyulit, kelainan bawaan (kongenital), dan air ketuban bercampur meconium (Rahajoe, N. 2008).

Herianto (2012) di St Elisabeth Hospital Medan menunjukkan proporsi kejadian asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum St. Elisabeth Medan tahun 2007–2012 yaitu sebesar 3,16% dimana hampir mendekati angka kejadian kejadian asfiksia neonatorum nasional yaitu sebesar 4%. Berdasarkan faktor bayi diketahui bahwa hanya berat bayi lahir yang berhubungan secara bermakna berhubungan dengan kejadian asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir.

Kematian bayi terbesar pada masa bayi perinatal (0-6 hari), diikuti kematian pada masa bayi neonatal (7-28 hari) dan masa bayi (> 28 hari - < 1 tahun). Penyebab kematian bayi perinatal dan neonatal di Provinsi Lampung tahun 2015 pada dua terbesar disebabkan oleh BBLR dan asfiksia. Angka kematian neonatal dan kematian bayi usia 0-28 hari di Lampung tahun 2015 berjumlah 719 kasus, penyebabnya yaitu asfiksia neonatorum sebanyak 236 (32,8%) (Dinkes Prov Lampung, 2015).

Berdasarkan data yang diperoleh peneliti untuk RSUD Pringsewu selama tahun 2013 dari 76 kasus kematian neonatal, terdapat 41 kasus (53,9%) kematian bayi yang disebabkan karena BBLR dan 13 kasus (17,1%) karena asfiksia neonatorum, sedangkan pada tahun 2014 dari 32 kasus kematian neonates terdapat 15 kasus (46,9%) kematian bayi yang disebabkan karena BBLR dan 13 kasus (40,6%) karena asfiksia neonatorum, dan pada tahun 2015 terdapat 41 kasus kematian bayi, terdapat 14 kasus (34.1%) kematian bayi karena asfiksia dari 778 persalinan.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti tentang “Faktor-faktor yang berhubungan dengan asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir di RSUD Pringsewu Kabupaten Pringsewu Tahun 2016”.

METODE

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif. Penelitian dilakukan pada bulan Juli Tahun 2016, di RSUD Pringsewu Kabupaten Pringsewu. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi korelasi dengan pendekatan case control. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelompok kasus seluruh ibu yang melahirkan bayi yang mengalami Asfiksia Neonatorum di RSUD Pringsewu yaitu sebanyak 47 orang dan populasi kelompok kontrol yaitu seluruh ibu yang melahirkan bayi yang tidak mengalami Asfiksia Neonatorum di RSUD Pringsewu. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh ibu bersalin yang melahirkan bayi yang mengalami Asfiksia Neonatorum di RSUD Pringsewu tahun 2015 yang berjumlah 47 orang.

Kelompok kontrol sebanyak 47 orang (perbandingan 1:1) yang memiliki kesamaan karakteristik subject pada kasus yaitu bayi premature, persalinan dengan tindakan, kelainan bawaan dan Air ketuban bercampur mekonium bayi yang tidak mengalami Asfiksia Neonatorum di RSUD Pringsewu. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling jenuh yaitu teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Setiawan & Saryono, 2010). Sedangkan pada kelompok control pengambilan sampel dilakukan menggunakan teknik sampling sistematis yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan urutan dari anggota populasi yang diberi nomor urut (Setiawan & Saryono, 2010). Populasi kelompok kontrol diberi nomor urut 001 – 778, pengambilan sampel dilakukan pada nomor urut kelipatan 16 yaitu 16, 32, 48 dan seterusnya sampai didapatkan jumlah sampel yang diinginkan yaitu 47 orang, ditambah 5 sampel dari jumlah sampel yang diinginkan untuk cadangan seandainya data yang diinginkan tidak lengkap.

Variabel bebas dalam penelitian ini bayi premature, persalinan dengan tindakan, kelainan bawaan dan Air ketuban bercampur mekonium. Sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah asfiksia neonatorum. Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan mengisi lembar checklist/ observasi rekam medik yang dipilih secara acak. Setelah data dikumpulkan, data kemudian diolah dengan tahap-tahap Editing, Coding, Prossesing dan Cleaning. Analisis Data yang dilakukan adalah analisa univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi variabel dependen dan variabel independent. Pada data kategorik peringkasan data hanya menggunakan distribusi frekuensi dengan ukuran persentase atau proporsi (Hastono, 2007).

Analisis Bivariat menggunakan uji Chi Square. Analisis Multivariat dilakukan dengan tujuan untuk menggambarkan hubungan variabel asfiksia dengan variabel independen. Karena variabel independen dalam penelitian ini bersifat dikotomis (kategorik) dan variabel independennya terdiri dari beberapa variabel dalam satu model, maka analisis yang digunakan regresi logistic ganda. Penelitian juga menggunakan model prediksi, dimana pemodelan ini dapat mengestimasi secara valid variabel independen yang dianggap terbaik untuk memprediksi faktor yang paling berpengaruh terhadap asfiksia.

HASIL DAN DISKUSI

Variabel Frekuensi Presentase (%)
Kejadian Asfiksia
Ya 47 50.0
Tidak 47 50.0
Bayi Premature
Ya 10 12.5
Tidak 84 87.5
Persalinan Tindakan
Ya 11 13.8
Tidak 83 86.2
Kelainan Baawaan
Ya 10 11.3
Tidak 84 88.2
Ketuban Bercampur Mekonium
Ya 17 18.8
Tidak 77 81.2
Table 1. Hasil Analisis Univariat

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa dari 94 responden, yang mengalami asfiksia sebanyak 47 orang (50.0%), yang merupakan bayi prematur sebanyak 10 orang (12.5%), dilahirkan dengan tindakan sebanyak 11 orang (13.8%), dilahirkan dengan kelainan bawaan sebanyak 10 orang (11.3%), dilahirkan dengan ketuban bercampur mekonium sebanyak 17 orang (18.8%).

Variabel Asfiksia Tidak Asfiksia Total p-value OR
Jumlah % Jumlah %
Persalinan Prematur: 0,019 10,895
Ya 9 19.1 1 2.1 10
Tidak 38 80.9 46 97.9 84
Persalinan dengan Tindakan: 0,010 12,432
Ya 10 21.3 1 2.1 11
Tidak 37 78.7 46 97.9 83
Air ketuban bercampur meconium: 0,032 4,11
Ya 13 27.7 4 8.5 17
Tidak 34 72.3 43 91.5 77
Kelainan Kongenital: 0,094
Ya 8 17.0 2 4.3 10
Tidak 39 83.0 45 95.7 84
Table 2. Hasil Analisis Bivariat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 10 bayi prematur sebanyak 9 (19.1%) bayi mengalami asfiksia dan 1 orang (2,1%) bayi tidak mengalami asfiksia. Hasil penelitian menunjukkan nilai p value 0,019 (< 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan secara statistik dengan derajat kepercayaan 95%, diyakini ada hubungan bayi prematur dengan asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir di RSUD Pringsewu Kabupaten Pringsewu Tahun 2016, dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR 10,895, artinya bayi prematur berisiko 10,895 kali lebih besar untuk mengalami asfiksia dibandingkan dengan yang tidak prematur. Dari 11 orang (2,1%) persalinan tindakan sebanyak 10 (21.3%) bayi mengalami asfiksia dan 1 bayi tidak mengalami asfiksia. Hasil penelitian menunjukkan nilai p value 0,010 (< 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan secara statistik dengan derajat kepercayaan 95%, diyakini ada hubungan persalinan tindakan dengan asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir di RSUD Pringsewu Kabupaten Pringsewu Tahun 2016, dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR 12,432, artinya bayi dengan persalinan tindakan berisiko 12,432 kali lebih besar untuk mengalami asfiksia dibandingkan dengan yang normal. Dari 10 kelainan kongenital sebanyak 8 (17.0%) bayi mengalami asfiksia dan 2 orang (4,3%) bayi tidak mengalami asfiksia. Hasil penelitian menunjukkan nilai p value 0,094 (> 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan secara statistik dengan derajat kepercayaan 95%, diyakini tidak ada hubungan kelainan kongenital dengan asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir di RSUD Pringsewu Kabupaten Pringsewu Tahun 2016. Dari 17 bayi yang air ketubannya bercampur mekonium sebanyak 13 (27.7%) bayi mengalami asfiksia dan 4 orang (8,5%) bayi tidak mengalami asfiksia. Hasil penelitian menunjukkan nilai p value 0,032 (< 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan secara statistik dengan derajat kepercayaan 95%, diyakini ada hubungan air ketuban bercampur mekonium dengan asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir di RSUD Pringsewu Kabupaten Pringsewu Tahun 2016, dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR 4,11 artinya bayi dengan air ketuban bercampur mekonium berisiko 4,11 kali lebih besar untuk mengalami asfiksia dibandingkan dengan yang air ketubannya tidak bercampur mekonium.

Figure 1. Hasil Analisis Multivariat

Berdasarkan Figur 1 terlihat bahwa semuah variabel mempunyai nilai p lebih kecil dari 0,05. Dengan demikian analisis regresi logistik berhenti sampai disini. Dapat di simpulkan dari hasil analisis multivariat ini bahwa faktor yang paling dominan dengan kejadian asfiksia neonatorum pada bayi adalah persalinan tindakan hal ini dapat di lihat dari nilai sign yang paling kecil sebesar 0,013 atau nilai OR yang terbesar yaitu 15,07.

PEMBAHASAN

Kejadian Asfiksia

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa dari 94 responden, yang mengalami asfiksia sebanyak 47 orang (50.0%). Asfrksia neonatorum adalah kondisi di mana bayi tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir karena gangguan peredaran darah plasental, baik secara akut maupun kronis yang menyebabkan gangguan pertukaran gas dan pada akhirnya terjadi hiperkapnea, hipoksemia, serta asidosis metabolik dan atau respiratorik yang progresif.

Dalam klinis, derajat asfiksia dinilai dengan menggunakan skorApgar. Maturitas organ memiliki pengaruh yang besar terhadap skor Apgar. Tonus otot yang lemah, tidak ada atau lemahnya refleks, serta usaha napas yang masih lemah akibat defisiensi surfaktan pada paru merupakan kondisi yang sering dijumpai pada bayi preterm, yang akan menghasilkan skor Apgar rendah saat dilakukan penilaian, walaupun tidak didapatkan adanya asfiksia pada bayi tersebut, karena itu subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah bayi aterm.

Rendahnya nilai APGAR pada bayi baru lahir di RSUD Pringsewu tahun 2015 diasumsikan karena keterlambatan dalam pengambilan keputusan dan penanganan di rumah sakit rujukan. Selain itu, saat ini rumah sakit masih menggunakan nilai APGAR untuk menilai tingkat asfiksia dan menentukan kapan resusitasi dimulai. Penilaian untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh 3 tanda penting, yaitu pernapasan, denyut jantung dan warna kulit.

Bayi Prematur

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa dari 94 responden, yang merupakan bayi prematur sebanyak 10 orang (12.5%). Usia kehamilan menurut WHO dibedakan atas tiga yaitu premature (<37 minggu), matur (37-42 minggu) dan post matur (>42 minggu). Bayi premature sering mengalami gangguan pernapasan karena kekurangan surfaktan, pertumbuhan dan perkembangan paru yang belum sempurna, otot pernapasan yang masih lemah, dan tulang iga yang mudah melengkung (Wiknjosatro, 2007).

Berdasarkan teori pada usia kehamilan 37-42 minggu atau cukup bulan, pada usia kehamilan tersebut fungsi organ-organ tubuh janin sudah lengkap selain itu janin sudah siap untuk hidup di luar kandungan, sedangkan bayi yang dilahirkan oleh ibu di usia kehamilan melebihi 42 minggu, kejadian asfiksia bisa disebabkan oleh fungsi plasenta yang tidak maksimal lagi akibat proses penuaan. Proses penuaan atau penurunan fungsi ini mengakibatkan transportasi oksigen dan pasokan makanan dari ibu ke janin juga menurun atau terganggu.

Kelahiran prematur dapat disebabkan karena adanya masalah kesehatan pada ibu hamil maupun pada janin itu sendiri yang merupakan faktor risiko dari terjadinya kelahiran prematur. Ibu dan anak yang dilahirkan dapat mengalami berbagai masalah kesehatan dikarenakan ibu belum siap secara mental dan fisik untuk melakukan persalinan, sedangkan pada bayi belum terjadi kematangan organ janin ketika dilahirkan yang mengakibatkan banyaknya organ tubuh yang belum dapat bekerja secara sempurna. Hal ini mengakibatkan bayi prematur sulit menyesuikan diri dengan kehidupan luar rahim, sehingga mengalami banyak gangguan kesehatan.

Persalinan Tindakan

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa dari 94 responden, yang dilahirkan dengan tindakan sebanyak 11 orang (13.8%). Persalinan tindakan adalah persalinan yang tidak dapat berjalan normal secara spontan atau tidak berjalan sendiri, oleh karena terdapat indikasi adanya penyulit. Sehingga persalinan dilakukan dengan memberikan tindakan menggunakan alat bantu. Persalinan tindakan dilakukan jika kelahiran spontan diduga berisiko lebih besar pada ibu atau anak daripada tindakannya. Hal-hal yang menyebabkan persalinan dilakukan dengan tindakan adalah adanya faktor penyulit pada saat persalinan yang berasal dari faktor kekuatan his ibu (power), faktor bayi (Passager) atau faktor jalan lahir (passage).

Hasil penelitian Kusumawati (2006) tentang Faktor-Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Persalinan dengan Tindakan (Studi Kasus di RS dr. Moewardi Surakarta) menunjuikkan faktor-faktor yang merupakan faktor risiko terjadinya persalinan dengan tindakan adalah frekuensi ANC < 4 kali, Kondisi kehamilan risiko, Jarak kehamilan jauh (≥10 tahun), Kadar Hb rendah (anemia) dan Tempat tinggal luar kota.

Kelainan Bawaan

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa dari 94 responden, yang dilahirkan dengan kelainan bawaan sebanyak 10 orang (11.3%). Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Kadang-kadang suatu kelainan kongenital belum ditemukan atau belum terlihat pada waktu bayi lahir, tetapi baru ditemukan beberapa saat setelah kelahiran bayi. Selain itu, pengertian lain tentang kelainan sejak lahir adalah defek lahir, yang dapat berwujud dalam bentuk berbagai gangguan tumbuh-kembang bayi baru lahir, yang mencakup aspek fisis, intelektual dan kepribadian.

Manifestasi kelainan kromosom antara lain pertumbuhan terhambat, keterlambatan perkembangan mental, kelaian bentuk muka, cacat tubuh lebih dari satu jenis (misalnya kebocoran katup jantung, bibir sumbing dan retardasi mental), kelainan alat kelamin mempunyai riwayat lahir meninggal atau kematian pada bulan pertama kelahiran (Mochtar, 2008).

Selain kelainan kromosom, kelainan genetic dapat disebabkan oleh adanya mutasi gen dominan maupun gen resesif pada autosom maupun pada kromosom seks, seperti Dentigenesis imperfecta, Akondroplasia, albino, bisu tuli, hemofilia, butawarna merah hijau, thalasemia dan penilketonura (PKU). Sedangkan kelainan kromosom dapat berupa kelainan jumlah kromosom (seperti sindrom Down, sindrom Turner atau sindrom Klinefilter), kelainan struktur kromosom (seperti Cri du chat sindrome, sindrom de Groucy) maupun kromosom mosaic.

Ketuban Bercampur Mekonium

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa dari 94 responden, yang dilahirkan dengan ketuban bercampur mekonium sebanyak 17 orang (18.8%). Mekonium pada persentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada persentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus diwaspadai. Adanya meconium dalam air ketuban pada persentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan.

Ketuban yang keruh disebabkan oleh sindrom aspirasi mekonium yaitu dimana kotoran bayi untuk pertama kalinya bercampur dengan cairan ketuban ketika masih di dalam perut dan selama proses persalinan berlangsung. Banyak hal yang menjadi penyebab keruhnya ketuban dan sindrom aspirasi mekonium ini. Hal yang paling sering terjadi adalah dikarenakan stress yang terjadi pada janin. Stress pada janin dapat disebabkan oleh masalah yang ada selama di dalam perut, seperti infeksi, ataupun sulitnya proses persalinan yang terjadi.

Bayi yang stress akan mengalami hipoksia atau kekurangan oksigen yang akan membuat aktivitas usus bayi meningkat dan menyebabkan pengenduran pada sfingter anal. Nah, pengenduran inilah yang akan membuat mekonium keluar dan bercampur dengan cairan ketuban yang menjadi bantal bagi bayi.

Hubungan Prematur dengan Asfiksia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 10 bayi prematur sebanyak 9 (19.1%) bayi mengalami asfiksia dan 1 orang (2,1%) bayi tidak mengalami asfiksia. Hasil penelitian menunjukkan nilai p value 0,019 (< 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan secara statistik dengan derajat kepercayaan 95%, diyakini ada hubungan bayi prematur dengan asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir di RSUD Pringsewu Kabupaten Pringsewu Tahun 2016, dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR 10,895, artinya bayi prematur berisiko 10,895 kali lebih besar untuk mengalami asfiksia dibandingkan dengan yang tidak prematur.

Partus prematurus adalah persalinan pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu atau berat badan lahir antara 500-2499 gram (Rukiyah, 2010). Kejadian prematuritas pada sebuah kehamilan akan di picu oleh karakteristik pasien dengan: Status sosial ekonomi yang rendah, termasuk didalamnya penghasilan yang rendah, kehamilan pada usia 16 tahun dan primigravida >30 tahun, riwayat pernah melahirkan prematur, pekerjaan fisik yang berat, tekanan mental (stress) atau kecemasan yang tinggi dapat meningkatkan kejadian prematur, merokok, dan penggunaan obat bius/kokain.

Faktor predisposisi akan menambah keadaan prematuritas antara lain: infeksi saluran kemih, penyakit ibu seperti hipertensi dalam kehamilan, asma, penyakit jantung, kecanduan obat, kolestatis, anemia, keadaan yang menyebabkan distensi uterus berlebihan yaitu kehamilan multiple, hidramnion, diabetes, perdarahan antepartum. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fani yang menunjukkan ada hubungan antara prematur dengan kejadian asfiksia neonatorum DI RSUP. Dr. M. Djamil Padang Tahun 2010 (p value 0,000).

Menurut peneliti kegagalan pernafasan pada bayi prematur berkaitan dengan defisiensi kematangan surfaktan pada paru- paru bayi. Bayi prematur mempunyai karakteristik yang berbeda secara anatomi maupun fisiologi jika dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Karakteristik tersebut adalah kekurangan surfaktan pada paru-paru sehingga menimbulkan kesulitan pada saat ventilasi. Perkembangan otak yang imatur sehingga kurang kemampuan memicu pernafasan. Otot yang lemah sehingga sulit bernafas spontan. Kulit yang tipis, permukaan kulit yang luas dan kurangnya jaringan lemak kulit memudahkan bayi kehilangan panas. Bayi sering kali lahir disertai infeksi. Pembuluh darah otak sangat rapuh sehingga mudah menyebabkan perdarahan pada keadaan stres. Volume darah yang kurang, makin rentan terhadap kehilangan darah. Jaringan imatur, yang mudah rusak akibat kekurangan oksigen.

Hubungan Persalinan dengan tindakan dengan Asfiksia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 11 orang (2,1%) persalinan tindakan sebanyak 10 (21.3%) bayi mengalami asfiksia dan 1 (2.1%) bayi tidak mengalami asfiksia.. Hasil penelitian menunjukkan nilai p value 0,010 (< 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan secara statistik dengan derajat kepercayaan 95%, diyakini ada hubungan persalinan tindakan dengan asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir di RSUD Pringsewu Kabupaten Pringsewu Tahun 2016, dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR 12,432, artinya bayi dengan persalinan tindakan berisiko 12,432 kali lebih besar untuk mengalami asfiksia dibandingkan dengan yang normal.

Bayi yang lahir melalui sectio caesarea, terutama jika tidak ada tanda persalinan, tidak mendapatkan manfaat dari pengurangan cairan paru dan penekanan pada toraks sehingga mengalami paru-paru basah yang lebih persisten. Situasi ini dapat mengakibatkan takipnea sementara pada bayi baru lahir. Di samping itu bayi lahir dengan sectio caesarea yang mengalami asfiksia juga berkaitan dengan tindakan anestesi yang mempunyai pengaruh depresi pusat pernafasan bayi.

Pada kasus bayi lahir dengan persalinan sectio caesarea yang mengalami asfiksia disebabkan karena proses kelahiran sectio caesarea itu sendiri dimana tidak ada penekanan pada toraks sehingga paru bayi banyak terisi cairan daripada oksigen, tetapi kebanyakan bayi yang asfiksia tersebut cepat mengalami perbaikan dikarenakan tindakan yang baik dan tepat serta pengawasan yang lebih lanjut dimana bayi mendapatkan perawatan yang intensif di ruang NICU. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fani yang menunjukkan ada hubungan antara persalinan dengan tindakan dengan kejadian asfiksia neonatorum di RSUP. Dr. M. Djamil Padang Tahun 2010 (p value 0,000).

Menurut peneliti peningkatan risiko akibat persalinan dengan bedah caesar tidak hanya terjadi pada ibu, namun juga terjadi peningkatan risiko bagi bayi yang baru lahir terkait dengan cara persalinan caesar. Risiko gangguan pernafasan yang dialami bayi baru lahir terkait persalinan caesar adalah 3,467 kali lebih besar dibandingkan persalinan normal. Di Rumah Sakit Umum Daerah Pringsewu meskipun angka kejadian asfiksia pada bayi baru lahir dengan seksio sesarea masih tergolong tinggi, hal ini dapat menjadi masalah serius pada bayi jika tidak ditanggulangi dengan benar.Diaharapkanbagi pihak rumah sakit, adanya tim resusitasi yang tanggap dan tepat dalam menangani kegawatdaruratan pada bayi baru lahir guna mencegah terjadinya komplikasi pada bayi asfiksia.

Hubungan Kelainan kongenital dengan Asfiksia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari10 kelainan kongenital sebanyak 8 (17.0%) bayi mengalami asfiksia dan 2 orang (4,3%) bayi tidak mengalami asfiksia. Hasil penelitian menunjukkan nilai p value 0,094 (> 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan secara statistik dengan derajat kepercayaan 95%, diyakini tidak ada hubungan kelainan kongenital dengan asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir di RSUD Pringsewu Kabupaten Pringsewu Tahun 2016. Kelainan kongenital bayi seperti hernia diafragmatika, atresia saluran pernafasan, hipoplasia paru dan lain-lain dapat menyebabkan asfiksia pada bayi baru lahir.

Neonatus dengan atresia tidak dapat menelan dan akan mengeluarkan banyak sekali air liur atau saliva. Aspirasi dari saliva atau air susu dapat menyebabkan aspirasi pneumonia. Pada atresia dengan distal TEF, sekresi dengan gaster dapat masuk keparu-paru dan sebaliknya, udara juga dapat bebas masuk dalam saluran pencernaan saat bayi menangis ataupun mendapat ventilasi bantuan. Keadaan-keadaan ini bisa menyebabkan perforasi akut gaster yang fatal. Diketahui bahwa bagian esophagus distal tidak menghasilkan peristaltic dan ini bisa menyebabkan disfagia setelah perbaikan esophagus dan dapat menimbulkan reflux gastroesofageal.

Trakea juga dipengaruhi akibat gangguan terbentuknya atresia esophagus. Trakea abnormal, terdiri dari berkurangnya tulang rawan trakea dan bertambahnya ukuran otot tranversal pada posterior trakea. Dinding trakea lemah sehingga mengganggu kemampuan bayi untuk batuk yang akan mengarah pada munculnya pneumonia yang bisa berulang-ulang. Trakea juga dapat kolaps bila diberikan makanana atupun air susu dan ini akan menyebabkan pernapasan yang tidak efektif, hipoksia atau bahkan bisa menjadi apneu.

Hubungan Ketuban bercampur meconium dengan Asfiksia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari dari 17 bayi yang air ketubannya bercampur mekonium sebanyak 13 (27.7%) bayi mengalami asfiksia dan 4 orang (8,5%) bayi tidak mengalami asfiksia. Hasil penelitian menunjukkan nilai p value 0,032 (< 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan secara statistik dengan derajat kepercayaan 95%, diyakini ada hubungan air ketuban bercampur mekonium dengan asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir di RSUD Pringsewu Kabupaten Pringsewu Tahun 2016, dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR 4,11 artinya bayi dengan air ketuban bercampur mekonium berisiko 4,11 kali lebih besar untuk mengalami asfiksia dibandingkan dengan yang air ketubannya tidak bercampur mekonium.

Mekonium merupakan tinja pertama dari bayi baru lahir. Mekonium yang kental pekat dan bewarna hijau tua atau kehitaman. Biasanya bayi baru lahir mengeluarkan mekonium pertama kali pada 12-24 jam pertama. Kira-kira 15% kasus, mekonium persalinan. Hal ini menyebabkan warna kehijauan pada air ketuban. Mekonium jarang dikeluarkan sebelum 34 minggu kehamilan. Bila lakukan pemantauan ketat karena hal ini merupakan tanda bahaya.

Penyebab janin mengeluarkan mekonium sebelum persalinan tidak selalu jelas mengapa mekonium dikeluarkan sebelum persalinan. Kadang-kadang hal ini terkait dengan kurangnya pasokan oksigen (hipoksia). Hipoksia akan meningkatkan peristaltik usus dan relaksasi sfingter ani sehingga isi rectum (mekonium) diekresikan. Bayi-bayi dengan risiko tinggi gawat janin (misal; kecil untuk masa kehamilan atau hamil lewat waktu) ternyata air ketubanya lebih banyak tercampur oleh mekonium (warna kehijauan) dibandingkan dengan air ketuban pada kehamilan normal.

Hasil penelitian Hendarwati menunjukkan air ketuban keruh yang kental berhubungan dengan terjadinya SAM (p=0,03) dan faktor risiko terjadinya SAM pada air ketuban keruh yang kental 10,1 kali dibandingkan pada air ketuban keruh yang encer (95% CI=1,2-87,6). Menurut peneliti risiko air ketuban bercampur mekonium: hipoksia dapat menimbulkan respirasi pada bayi didalam rahim sehingga mekonium yang bercampur dalam air ketuban terdeposit dijaringan paru. Mekonium dapat juga masuk ke paru-paru jika tersedak saat lahir. Masuknya mekonium ke jaringan paru bayi dapat menyebabkan pneumonia dan mungkin kematian.

Faktor yang paling dominan dengan kejadian asfiksia neonatorum pada bayi adalah persalinan tindakan hal ini dapat di lihat dari nilai sign yang paling kecil sebesar 0,013 atau nilai OR yang terbesar yaitu 15,07. Anestesi pada sectio caesarea dapat mempengaruhi aliran darah dengan mengubah tekanan perfusi atau resistensi vaskuler baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu pengaruh anestesi terhadap janin adalah terjadinya asfiksia neonatorum (Eliza, 2003).

Peningkatan risiko akibat persalinan dengan bedah caesar tidak hanya terjadi pada ibu, namun juga terjadi peningkatan risiko bagi bayi yang baru lahir terkait dengan cara persalinan caesar. Hasil penelitian menemukan bahwa persalinan normal juga mengakibatkan asfiksia pada bayi baru lahir, karena dari faktor penyebab yaitu terjadinya KPD, partus lama, dan kehamilan lewat Bulan (post term). Meskipun angka kejadian asfiksia pada bayi baru lahir dengan sectio caesarea masih sangat tinggi, tetapi pada kenyataannya sebagian besar mengalami perbaikan dan tidak ada masalah yang berarti. Hal ini dikarenakan adanya tim resusitasi yang tanggap dan tepat dalam menangani kegawatdaruratan pada bayi baru lahir. Tetapi dengan adanya bayi yang mengalami asfiksia akan memperpanjang masa perawatan di Rumah Sakit. Hal ini tidak mempengaruhi keyakinan pada pasien untuk memilih persalinan dengan persalinan section caesarea karena mengingat perekonomian mereka yang tergolong menengah keatas. Masih adanya adanya efek samping dari anastesi pada sectio caesarea dapat menyebabkan asfiksia dan juga pentingnya persalinan dilakukan dengan cara normal karena dapat membantu kelancaran pernapasan bayi untuk mencegah terjadinya penemonia diharapkan bagi petugas kesehatan untuk lebih menigkatkan pengetahuan masyarakat mengenai manfaat dan kerugian jika melakukan sectio caesarea dengan cara konseling melalui KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) kepada ibu-ibu hamil guna menghindari komplikasi yang mungkin terjadi pada tindakan sectio caesarea baik terhadap ibu maupun bayi yang dilahirkan. Begitu besarnya bahaya yang dapat mengancam keselamatan jiwa ibu dan janin akibat persalinan sectio caesarea peran petugas kesehatan sangat signifikan untuk meningkatkan perilaku ibu agar teratur memeriksakan kondisi kesehatan ibu dan janin dalam masa kehamilan, penyuluhan yang dilakukan secara berulang-ulang kepada ibu hamil tentang manfaat ANC dapat berperan dalam membentuk kesadaran yang diwujudkan dalam tindakan ibu untuk teratur memeriksakan kehamilan sebagai upaya deteksi awal faktor yang dapat menyebabkan asfiksia karena pengetahuan merupakan domain penting untuk membentuk perilaku seseorang.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

  1. Distribusi frekuensi responden yang mengalami asfiksia sebanyak 47 orang (50.0%).
  2. Distribusi frekuensi responden yang merupakan bayi prematur sebanyak 11 orang (11.7%).
  3. Distribusi frekuensi responden yang dilahirkan dengan tindakan sebanyak 10 orang (10.6%).
  4. Distribusi frekuensi responden yang dilahirkan dengan kelainan bawaan sebanyak 10 orang (10.6%).
  5. Distribusi frekuensi responden yang dilahirkan dengan ketuban bercampur mekonium sebanyak 17 orang (18.1%).
  6. Ada hubungan bayi prematur dengan asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir di RSUD Pringsewu Kabupaten Pringsewu Tahun 2016 (p value 0,019).
  7. Ada hubungan persalinan tindakan dengan asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir di RSUD Pringsewu Kabupaten Pringsewu Tahun 2016 (p value 0,010).
  8. Tidak ada hubungan kelainan kongenital dengan asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir di RSUD Pringsewu Kabupaten Pringsewu Tahun 2016 (p value 0,094).
  9. Ada hubungan air ketuban bercampur mekonium dengan asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir di RSUD Pringsewu Kabupaten Pringsewu Tahun 2016 (p value 0,032).
  10. Faktor yang paling dominan dengan kejadian asfiksia neonatorum pada bayi adalah persalinan tindakan hal ini dapat di lihat dari nilai sign yang paling kecil sebesar 0,013 atau nilai OR yang terbesar yaitu 15,07

SARAN

Bagi Ibu Hamil

Diharap bagi ibu-ibu hamil agar lebih rajin dan lebih aktif melakukan kunjungan antenatal care sehingga faktor-faktor resiko penyebab asfiksia yang berasal dari faktor ibu dan factor persalinan dapat dicegah secara dini.

Bagi tenaga kesehatan

Lebih meningkatkan mutu pelayanan dalam penanganan bayi risiko tinggi, terutama penanganan asfiksia yang disebabkan karena persalinan sectio caesarea

Bagi Peneliti

Diharapkan hasil penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan peneliti tentang asfiksia neonatorum

Bagi IPTEK

Diharapkan dapat menambah kajian dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak khususnya Neonatologi serta memacu untuk penemuan tehnik penanganan dan perawatan pada bayi yang lahir yang lebih efektif dan efisien.

Acknowledgements

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua informan yang terlibat dalam penelitian ini atas kesediaannya memberikan kesempatan kepada penulis untuk berbagi pengalaman.

Funding Statement

The authors did not receive support from any organization for the submitted work and No funding was received to assist with the preparation of this manuscript

Conflict of Interest statement

Penulis yang namanya tercantum tepat di bawah ini menyatakan bahwa tidak memiliki afiliasi atau keterlibatan dengan pihak luar manapun dan tulisan ini murni dari sumber yang dicantumkan di daftar pustaka serta tidak mengandung plagarisme dari jurnal artikel manapun. Sumber tulisan telah dicantumkan seluruhnya didaftar pustaka.

Copyright

Hak cipta artikel ini dipegang oleh penulis

Data Availability

References

  • Arikunto S. (2010) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Central Intelligence Agency. (2015). The Factbook. dari www.data.worldbank.org.
  • Cunningham, F. (2005) Obstetri Williams. Jakarta: EGC. Jakarta.
  • Dinas Kesehatan Provinsi Lampung (2015). Profil Kesehatan Provinsi Lampung Tahun 2014.
  • Djami, Moudy & Indrayani. (2013). Asuhan Persalinan dan Bayi Baru Lahir. Jakarta : CV Trans Info Media
  • Firdausi, N., & Mukhlis, H. (2021). Pengaruh Pemberian Kurma Sukkari Pada Ibu Bersalin Terhadap Durasi Persalinan. Wellness And Healthy Magazine, 3(2), 117-124.
  • Ghai (2010). Pencegahan Dan Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum. Health Technology Assessment Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
  • Gilang. (2011) Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum (Studi Di RSUD Tugurejo Semarang). Diunduh pada tanggal 21 Februari 2015 dari www.download.portalgaruda.
  • Hassan, dkk. (2005) Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak UI. Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
  • Hastono (2007) Analisa Data. Jakarta : FKM Universitas Indonesia
  • Herianto (2012) Faktor Faktor Yang Memengaruhi Terjadinya Asphyxia Neonatorum Di Rumah Sakit Umum St Elisabeth Medan Tahun 2007 – 2012. Jurnal.usu.ac.id/index.php/gkre/article/.../4215/1905
  • IDAI, (2008). Asfiksia Neonatorum. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. (level of evidence IV).Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 272-276
  • Kemenkes RI (2012) Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012.
  • Kosim (2008) Buku Panduan manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Bidan, dan Perawat di Rumah Sakit. IDAI, Jakarta
  • Mukhlis, H., Putri, R. H., Puspita, L., Wardani, P. K., & Fitri, N. L. (2020). Variables Associated To The Decline Of Cognitive Function In The Third Trimester Of Pregnancy. Journal of Critical Reviews, 7(14), 1449-1456.
  • Notoatmodjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
  • Notoatmodjo S. (2010) Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Parer, J.T., (2008). Fetal Brain Metabolism Under Stress Oxygenation, Acid-Base and Glucose. Available from: http://www.nichd.nih.gov/publications/pubs/acute/acute.cfm
  • Rahajoe, N. (2008) Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Badan. Penerbit IDAI. Jakarta.
  • Vain N. (2004) Oropharyngeal and nasopharyngeal suctioning of meconium-stained neonates before delivery of their shoulders: a multicentre, randomized controlled trial. Lancet. 364:597–602.
  • WHO, (2015). Ringkasan Kajian Kesehatan Ibu dan Anak. http://www.unicef.org/indonesia/.pdf

Editorial's Note

Journal of Current Health Sciences remains neutral with regard to jurisdictional claims in published maps and institutional affiliations.

Rights and permissions

Open Access This article is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License, which permits use, sharing, adaptation, distribution and reproduction in any medium or format, as long as you give appropriate credit to the original author(s) and the source, provide a link to the Creative Commons licence, and indicate if changes were made. The images or other third party material in this article are included in the article's Creative Commons licence, unless indicated otherwise in a credit line to the material. If material is not included in the article's Creative Commons licence and your intended use is not permitted by statutory regulation or exceeds the permitted use, you will need to obtain permission directly from the copyright holder. To view a copy of this licence, visit https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/.

PDF

Keywords

  • Prematur
  • persalinan dengan tindakan
  • air ketuban
  • mekonium
  • kelainan kongenital
  • Asfiksia
  • BBL

Author Information

Siti Aminah

Program Studi Sarnjana Keperawatan Fakultas Kesehatan Universitas Aisyah Pringsewu, Indonesia.

Eva Yunitasari

Program Studi Sarnjana Keperawatan Fakultas Kesehatan Universitas Aisyah Pringsewu, Indonesia.

Article History

Submitted : 6 August 2022
Revised : 21 October 2022
Published : 25 November 2022

How to Cite This

Aminah, S., & Yunitasari, E. (2022). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Asfiksia Neonatorum pada Bayi Baru Lahir di RSUD Kabupaten Pringsewu. Journal of Current Health Sciences, 2(2), 73–80. https://doi.org/10.47679/jchs.202239

Crossmark and Dimension

Verify authenticity via CrossMark

template

Before Submission

Keywords

visitors

Journal Visitors

Flag Counter

View MyStat

View MyStat

Ceritificate-Accreditation

Certificate Accreditation